Aangedryf deur Blogger.
Wys tans plasings met die etiket Fakta. Wys alle plasings
Wys tans plasings met die etiket Fakta. Wys alle plasings

1 dari 10 Korban Cyberharassment Lakukan Bunuh Diri!

Cyberharassment, atau pelecehan terhadap anak-anak dan remaja di internet, kian tak bisa diremehkan lagi. Angkanya terus menanjak. Yang mengkhawatirkan, sebanyak 90% remaja yang pernah menyaksikan cyberharassment mengaku tidak mempedulikannya.  Hanya 40% dari mereka mengadukannya ke orang tua.
Demikian menurut studi yang dilakukan OnlineCollege.org belum lama ini. Sebanyak 42% remaja yang online mengaku pernah mengalami cyberharassment dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah ini akan terus meningkat, mengingat anak-anak dan remaja pengguna internet semakin besar kuantitasnya. Setidaknya 69% anak masa kini sudah mengakses internet melalui ponsel maupun komputer. Dari jumlah itu, sebesar 80% aktif di satu social media atau lebih.
Di kalangan remaja belia, komunikasi tatap muka sudah mulai dianggap tidak terlalu penting lagi.  Ini terlihat dari seringnya mereka mengirim pesan teks kepada teman atau keluarganya. Setiap minggu, rerata remaja mengirim 420 pesan setiap minggu, atau 60 pesan teks per hari.  Jumlah tersebut berarti dua kali lipat dari pesan yang dikirim orang dewasa. Kaum remaja putri bahkan lebih sering lagi. Remaja putri usia 14-17 tahun rerata berkirim pesan teks 100 kali dalam sehari!
Jangan kaget bahwa anak usia 3-5 tahun pun sudah bermain internet juga. Ini terbukti dari riset, dimana ditemukan bahwa 1 dari 3 anak usia 3-5 tahun sudah online. Dan 1 dari 2 anak usia 6-9 tahun juga sudah mengenal internet!
Walaupun Facebook sudah menetapkan aturan bahwa mereka hanya menerima user usia di atas 13 tahun, faktanya ada 7,5 juta anak usia di bawah 13 tahun yang ber-Facebook-ria.
Apa hubungannya dengan cyberharassment? Nah, 1 dari 10 anak pengguna Facebook mengaku pernah menjadi korban atau pelaku cyberharassment.  Itu setara dengan 800.000 anak, atau sama besarnya dengan populasi Washington DC. 81% dari remaja tersebut menganggap bahwa melakukan harassment pada temannya secara online jauh lebih mudah dilakukan ketimbang secara langsung di dunia nyata.
Bagaimana efek dari tindakan harassment  Jika di dunia nyata, bisa mengakibatkan tindakan membolos dari sekolah akibat takut di-harassment teman, bahkan berimbas pada bunuh diri. Anak yang pernah mengalami harassment  dua kali lipat berpotensi bunuh diri ketimbang yang tidak pernah di-harassment.
Pada kasus cyberharassment, jauh lebih memprihatinkan. Satu dari 5 anak korban cyberharassment berpikir untuk melakukan bunuh diri. Bahkan 1 dari 10 korban cyberharassment melakukan tindakan bunuh diri. Dalam setahun, ada sekitar 4500 anak yang mengakhiri nyawanya sendiri.
Setelah melihat angka-angka di atas, apakah Anda masih mau meremehkan cyberharassment?
Sumber artikel: mashable.com 
Blogger Dampak, Fakta, Online

Cyberharassment Makin Marak di Internet, Ortu Waspadalah


Internet menjadi semacam perwakilan dunia nyata. Apapun yang terjadi di dunia nyata bisa terjadi pula di dunia maya, tak terkecuali pelecehan atau yang biasa disebut harassment.
Institusi-institusi terkait telah memperingatkan bahwa harassment melalui jejaring sosial semakin memprihatinkan, terbukti dari seorang remaja bernama Natasha MacBryde yang bunuh diri pada bulan Februari lalu karena mengalami cyberharassment di situs Formspring. Gadis berusia 15 tahun tersebut sengaja berjalan di atas rel kereta api sekitar 150 meter dari tempat tinggalnya di Bromsgrove, Worcestershire, dan membiarkan dirinya tertabrak kereta yang melintas.
Ibu gadis malang tersebut, Jane MacBryde, mengatakan bahwa putrinya mengalami harassment oleh sekelompok gadis di sekolahnya. Selain itu, Natasha juga menerima kekerasan verbal dari seseorang yang mengirimkan pesan beberapa jam sebelum kematiannya yang menyebutnya seorang pelacur dan menyuruhnya untuk bersikap lebih baik atau semua orang akan menjauhinya.
Tak cukup sampai di situ, masih ada banyak orang yang mencaci dan mengolok-oloknya di internet setelah kematiannya. Atas kejadian ini, penyidik mengungkapkan bahwa sudah ada salah satu pelaku yang telah ditangkap dan dihukum.
Cyberharassment diawali dari aktivitas trolling atau meninggalkan pesan bernada kasar, ejekan, hingga merendahkan di profil seseorang di sebuah jejaring sosial. Peristiwa ini sering terjadi di kalangan anak-anak dan remaja sehingga meningkatkan kesadaran orang tua dan juga pengelola jejaring sosial tersebut mengenai bahaya harassment di dunia maya.
Jeremy Todd, chief executive dari lembaga sosial Family Lives, menekankan bahwa kejadian cyberharassment meningkat sedangkan orang tua terkadang sering tertinggal jauh dari sang anak dalam teknologi masa kini, padahal apa yang terjadi pada anak-anak tersebut memerlukan perhatian dan pengawasan dari orang tua agar peristiwa di atas tak terjadi pada mereka.
Instutusi anti harassment  Beatharassment, menyebutkan bahwa teknologi mutakhir seperti fitur GPS yang ada di Facebook bisa menjadi pedang bermata dua dan membuat pelecehan-pelecehan justru semakin leluasa untuk dilakukan. Situs seperti Formspring dan LittleGossip.com juga sudah sepantasnya menjaring ketidakjelasan informasi pengguna agar terlihat adanya upaya pengaturan dari jejaring sosial tersebut.
Apa yang terjadi pada Natasha membuat Formspring bersimpati dan menyatakan bahwa mereka akan memaksimalkan keamanan terhadap penggunanya dan sudah bekerja sama dengan aparat hukum untuk menghindari kejadian serupa.
Sumber: Guardian
Blogger Fakta, Online, Tips

Hanya 1 dari 10 Ortu yang Peduli Cyberharassment

Saking memaki, mengejek, menghina, bahkan mengancam di dunia maya, kini semakin sering dilakukan anak-anak dan remaja. Semua tindakan tersebut dikenal dengan istilah cyberharassment. Dengan makin banyaknya jumlah anak-anak dan remaja yang mengakses internet, otomatis makin besar pula potensi terjadi cyberharassment.
Menurut studi terbaru McAfee, anak-anak cenderung menjadi saksi tindakan cyberharassment, atau terlibat dalam cyberharassment. Hampir 1 dari 4 remaja mengaku menjadi target cyberharassment. Dan sebanyak dua pertiga remaja menjadi saksi perilaku kasar online, demikian menurut studi mengenai perilaku remaja di internet.
Tapi sayangnya, hanya 1 dari 10 orang tua yang sadar bahwa anak remajanya bisa menjadi target cyberharassment. Padahal maraknya social media saat ini memicu terjadinya cyberharassment. Dikatakan bahwa lebih dari 92% remaja berperilaku kasar di Facebook. Anak-anak dan remaja juga melakukan hal serupa di Twitter (23,8%), di MySpace (17,7%), dan di pesan instan (15,2%).
Rasa peduli para remaja pada cyberharassment cukup tingi. Saat melihat aksi cyberharassment, sebanyak 40% remaja menyerukan pada pelaku untuk berhenti, sementara 20,7% melaporkannya ke orang dewasa. Namun ada 6,3% remaja yang justru ikut melibatkan diri. Ketika diserang, sebanyak 65,8% remaja merespon serangan itu. Ada juga lho remaja yang meladeni cyberharassment dengan tindakan fisik, yakni sebanyak 4,5%.Melihat angka-angka di atas, agaknya para orang tua harus lebih memberi perhatian pada isu cyberharassment di kalangan anak dan remaja.
Sumber artikel: mashable.com 
Blogger Fakta, Online

Cyberharassment 3 Tahun Berakhir Bunuh Diri


Merasa wajar melakukan penghinaan atau ledek-ledekan di Facebook atau Twitter? Tidak jika pelaku dan korbannya adalah remaja, sebab itu merupakan usia rawan dimana seseorang berjiwa sangat labil dan nekad berbuat apa saja. Terlebih lagi jika cyberharassment sudah sangat berlebihan hingga terjadi bertahun-tahun.
Sebuah kasus cyberharassment di Kanada baru-baru ini berakhir tragis. Amanda Todd 15 tahun, bunuh diri pada 10 Oktober kemarin akibat merasa depresi menjadi korban penghinaan di dunia maya.  Cyberharassment yang dialami Amanda tidak tanggung-tanggung, yaitu selama 3 tahun, dan berimbas pada kekerasan fisik.
Sebelum melakukan bunuh diri, gadis itu meninggalkan pesan di YouTube dalam video berdurasi 9 menit, yakni “Saya tidak memiliki siapapun. Saya membutuhkan seseorang.”
Cyberharassment dialaminya sejak 3 tahun silam setelah seorang pria menjebaknya untuk bertelanjang dada di Webcam. Tak lama kemudian foto tidak senonohnya itu beredar di seanteo jagat maya.  Akibatnya Amanda menjadi bulan-bulanan di dunia maya dan nyata, termasuk sekolahnya. Bahkan depresi membuatnya jadi pecandu obat dan alkohol.
Bunuh diri dilakukan Amanda sebagai rasa frustasi karena si penguntit sudah mengirim foto-foto topless Amanda ke sekolah barunya.
Kasus Amanda hanya sedikit dari cyberharassment yang berakhir tragis. Sebuah studi mengatakan bahwa 1 dari 10 korban cyberharassment melakukan bunu diri. Cyberharassment hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar menyerang di Facebook, SMS, pesan teks lain, Twitter, email, YouTube, dan semua media elektronik.
Sebanyak 88% anak usia 12-18 tahun mengaku menyaksikan orang melakukan cyberharassment, demikian menurut studi Pew Center for Internet and American Life. Tahun 2011. Sementara pada 2012 Dan Olweus dari University of Bergen, Norwegia, menemukan bahwa 5% dari siswa di Amerika telah melaporkan dirinya menjadi target cyberharassment. Padahal bisa jadi lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Sumber referensi: Technewsdaily
Blogger Fakta, Online

Lebih dari 25 Persen Remaja Alami Cyberharassment


Aksi cyberharassment makin menjadi di jagad maya. Aksi yang marak di kalangan anak muda ini jumlahnya makin meningkat, merujuk pada survey yang dilakukan di Spanyol. cyberharassment sendiri adalah aksi pelecehan atau mengolok-olok seseorang via internet dan media teknologi lain, baik melalui komentar, foto dan materi lainnya.
Para peneliti dari University of Valencia menggelar survey di 11 sekolah di Valencia, Spanyol pada tahun 2009. Survey tersebut melibatkan 2.101 remaja berusia antara 11-17 tahun, 1.098 di antaranya lak-laki dan 1.003 sisanya ialah perempuan.
Survey ini bukan hanya menunjukkan angka mengenai kasus cyberharassment, namun lebih luas lagi yakni aksi technological harassament yang bukan saja melibatkan internet tapi juga piranti ponsel.
Dari hasil survey, muncul data bahwa 24,6% remaja mengalami kasus harassament via ponsel, sedangkan 29% mengalaminya di internet. Sebagian kasus ini terjadi di tahun pertama sekolah. Oleh karena itu peringatan terhadap para remaja akan aksi ini sangatlah penting karena terkadang mereka sendiri merasa cuek-cuek saja, tidak sadar bahwa aksi ini sebenarnya berdampak negatif pada diri mereka sendiri.
Meskipun kasus cyberharassment adalah kasus sementara bagi para remaja, akan tetapi angkanya cukup signifikan. Hal ini tentu saja tidak boleh dipandang sebelah mata. Studi menunjukkan, para remaja menjadi korban harassament hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Maka perhatikan kegiatan anak-anak Anda, terutama yang berkaitan dengan penggunaan handphone.
Dengan keberadaan handphone yang menjadi bagian dari hidup, ponsel menjadi media yang rawan. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa remaja yang berusia antara 12-14 tahun telah memilki beberapa ponsel dan 63% dari mereka tidak pernah mematikannya.
Masih menurut studi tersebut, muncul fakta bahwa jika dibandingkan anak laki-laki, anak perempuan ternyata lebih sering mengalami harassament. Hal ini termasuk harassament secara verbal, pelanggaran privasi, penyebaran gosip hingga pengucilan.
Blogger Fakta, Online

Awas, Korban Cyber Harassament Berpotensi Balas Dendam


Remaja yang menjadi korban cyber harassement (penghinaan/pelecehan) lewat internet, ternyata memiliki kecenderungan untuk melakukan hal serupa pada remaja lainnya. Hal ini mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh psikolog anak-anak Shane Gallagher dari Cambridgeshire Educational Psychology Service di Inggris.
Demi mendapatkan hubungan antara korban cyber harassement  dan aksi cyber harassement , Gallagher mensurvey 229 remaja berusia 11 hingga 16 tahun (128 laki-laki dan 101 perempuan) dan orang tua mereka. Ratusan partisipan muda ini diberi pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman harassement  yang mereka alami.
Dan hasilnya pun keluar. Ternyata benar, ada korelasi yang kuat antara mereka yang menjadi korban olok-olok dengan aksi olok-olok itu sendiri. Mereka yang pernah menjadi korban mengaku adanya kemungkinan dalam diri mereka untuk menjadi si pelaku cyber harassement. Sungguh memprihatinkan. Akan tetapi masih belum jelas apakah mereka akan melakukan olok-olok ke orang lain yang tidak terkait dengan pengalaman mereka, ataukah aksi itu hanya ditujukan kepada pihak-pihak tertentu sebagai langkah balas dendam.
Dalam penelitian tersebut Gallagher juga menemukan bahwa dibanding laki-laki, perempuan lebih berpotensi melakukan aksi cyber harassement . Gallegher juga mengkategorikan aksi ini ke dalam 2 jenis: Harassement  langsung dan tak langsung. Harassement  tradisional dikategorikan ke dalam jenis harassement  langsung, sedangcyber harassement  masuk ke jenis tak langsung di mana untuk jenis ke-2 ini banyak dilakukan oleh perempuan. Fakta tersebut mengacu pada penelitian sebelumnya.
Mengetahui hasil penelitian di atas, orang tua dalam hal ini dihimbau untuk lebih memperhatikan anak-anaknya agar tidak menjadi korban penghinaan di ranah maya atau cyber harassement . Dengan mudahnya akses internet via ponsel, aksi cyber harassement lebih rentan terjadi. Oleh karena itu orang tua pun diharapkan lebih melek teknologi dan tidak memandang aksi ini sebagai hal kecil karena akan berdampak negatif pada si anak.
Sumber: nationalcybersecurity
Blogger Fakta, Online